Dear MAR’ATUS
SHOLIHAH, ^_^
Bissmillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum
Warahmatullah Wabarokatuh Semoga
melalui tulisan ini, kuantitas rahmat Allah
bergerak ke kualitas Barokah Allah. Semoga
tidak menjerumuskan kita ke dalam jurang
Warahmatullahi-walaknatullah,na’udzubillah.
Mar’atus
Sholihah yang baik, Bagi orang
yang selama ini akrab denganku, mungkin
akan terperanjat bila mengetahui kondisi
kalbuku yang tidak seperti biasanya. Pun akan
tersentak. Sebab selama ini aku dikenal
sebagai lelaki yang memicingkan mata ketika
menatap pemuda-pemudi yang sedang di landa
asmara. Memang betul, sesungguhnya
aku juga merasa bahwa ada ketidakwajaran
yang menghinggapiku.
Umpamanya,
ketika mereka berbincang-bincang
tentang perempuan, serentak langkah kakiku
menuntun tubuh ini menjauhinya.
Jika tidak
ada yang bisa di ajak bicara tentang
segala sesuatu selain perempuan, atau jika
semua orang mendiskusikan perihal jalinan
kasih dengan lembayung hatinya, aku memutuskan
pergi meluncur menuju ke rumah, masuk kamar,
ambil posisi di depan kertas kosong,
lalu mulai menulis. Jadi jelas bahwa menulis,
atau menceburkan diri dalam dunia pustaka,
lebih kugandrungi ketimbang sekedar duduk dalam
lingkaran pemuda yang omong-omong soal
perempuan. Dengan bahasa lain, tidak ada
perempuan yang menarik, titik! Di manapun aku
berada, tidak ada yang bisa memicu
perhatianku. Tidak ada wanita yang sanggup
menggetarkan relung-relung hatiku.
Sampai
suatu saat, tak sengaja mataku menatapmu
sekitar setengah menit. Meski sudah tahun
yg lalu engkau bertitle pelajar baru,
sebenarnya aku baru bisa memandang sinarmu
sekitar dua minggu yang lalu. Namun aku
mencoba melupakan semuanya, karena
sekali lagi, aku tak mau berkecimpung dalam
glamour remaja, aku ingin menjadi diriku yang
dulu. Tapi… tetap tak bisa. Satu dua tiga
hari aku menggapai sia-sia. Limbung dan bingung
dari satu wajah ke lain tanah, dari satu
hari ke lain hati. Biarpun minggu-minggu
kemarin aku terlihat bagaikan seorang PlayBoy ,
nyantol sana nyantol sini, tetapi segalanya
kulakukan demi menghindarimu.Demi
melupakanmu. Tapi justru hal itu malah menguatkan
ingatanku terhadapmu. Aku tak kuasa untuk
bersembunyi dari kedirianmu. Jangankan
kedirianmu, suaramu ketika bilang “tahu
nomer hp ku darimana?” itu saja selalu
menghantuiku. Pada titik ini, aku terbukti
tak mampu untuk tidak memikirkanmu,
Kha.
Kha, kalau
adanya surat ini dikatakan karena
malam ini aku disini sendirian dandalam
kondisi berdebar-debar, aku rasabukan.
Kalau engkau menyebutnya sebagai hasil karya
tulis dari orang yang mencintai bidang
sastra, aku kira keliru. Coba saja perhatikan,
bukankah seluruh kalimat yang tertata
ramping ini, memancarkan pesan bahwa
rentetan huruf yang melekat di kertas ini adalah
ekspresi perasaan seseorang? Bukankah
surat ini hanya bisa dibaca oleh mereka yang
paham mana gurauan semata dan mana
wujud kesungguhan hati?
***
Kha, apakah
aku pernah bertanya kepadamu tentang
ke-mengapa-an kita SEKOLAH? Kalau belum, aku
akan menanyakannya: Mengapaengkau
SEKOLAH? Di MAKS pula? Bila engkau tak mau menjawab,
tak apa. Tetapi aku akan menceritakan
jawaban teman-teman yang pernah
kutanya akan kenyataan ini. Okelah,
sesungguhnya aku pun sadar bahwa tidaklah
penting mengetahui orientasi hidupseseorang.
Tapi engkau bukan hanya sebongkah
jasad yang pernah berinteraksi denganku.
Engkau adalah Yang Kucintai. Dan sebagai
seorang yang mencintaimu, aku berharap,
semoga tujuanmu SEKOLAH bukanlah
seperti jawaban-jawaban yang sudah
kuterima: factor orang tua hingga factor
ijazah. Soal ekonomi hingga soal mengisi
tabula rasa (pengalaman).
Terlepas
dari maksud dan tujuanmu sekolah, aku percaya
bahwa kau adalah BOM pikirandan pejuang
revolusioner dalam artian mauberjuang
mencari dan membela kebenaran dengan
ikhlas seikhlas-ikhlasnya tanpa kepentingan-kepentingan
industry-kapitalisme-materialisme. Aku percaya Mar'atus
Solihah adalah manusia unggul.Maka aku
membayangkan kalau kelak kita akan
menjadi orang besar. Dalam prosesnya, engkau akan menjadi orang besar lewat kebenaran,
sedangkan aku menjadi orang besar
karena aku mengenalmu.
Kha,
sebelumnya aku minta maaf. Jika kau merasa
tulisan ini layak di sobek dan di bakar, maka ikutilah perasaanmu dan teriaklah
sekencang-kencangnya bahwa aku hanyalah
penjahat yang menginginkan seseorang
untuk senantiasa berbuat baik. Namun, jika
kau merasa ini adalah bentuk cintaku
padamu, maka rangkaian kata ini akan tetap
hidup abadi sampai maut menjemputkula
survei, kata Derrida, FilosofDekonstruksionis.Well,
ternyata isi tulisan ini sudah sekian paragraph.
Tetapi aku belum menyisipkan kalimat
berikut ini: Tidakkah kau membandingkan
keadaan teman-teman kita di desa,
yang sangat kontras dengan pelajar di sekolah?
Sekedar mengingatkan. Aku tak ingin kita
lupa, tak ingin kita menaiki puncak dengan
menginjak kepala kaum papa. Anggap saja
kalimat di atas sebagai selingan,Kha. Tak
usah di gali secara mengakar. Puntak perlu
kau menyoalkan perkara itu dengan kritis dan
radikal. Cukup di ingat saja. Hmm…..
***
Baiklah,
dalam segment ini, aku akan mengaku
dihadapanmu bahwa aku menyesal.Menyesal karena
aku telah menyatakan cintaku
untukmu. Karena aku berpikir, andaikan
aku tak pernah menyatakan gejolak
perasaan yang membuncah ini,mungkin aku
tak pernah merasa ketakutan dalam
menghadapi jawaban darimu yang tidak bisa
kutebak itu. Yang sekarang masih kau pendam.
Jadi, segalanya telah transparan—tidak
ada yang kututupi. Meski aku takut
kau akan menjawab “tidak!” Namun aku
tetap memerlukan jawabanmu. Dan jika
memang jawabanmu ialah penolakan,
tetap saja aku mencintaimu. Artinya,
kau tak akan sanggup menyapu bersih rasa
cinta ini hanya dengan menyatakan “tidak!”.
Secara sederhana, aku akan selalu
mencintaimu, entah sampai kapan,
mungkin sampai Jibril menyampaikan wahyu
kepada Izrail untuk mencabut nyawaku.
Mungkin aku akan mati sembari menggenggam
cinta. Mar’atus
Solihah., Jika kau
bertanya: “mengapa kau mencintaiku,
Rofiqin (entah kau memanggilku apa: bro,
mas, kak, cak, terserah)?”, maka lidahku tak
berkutik, prinsip-prinsip epistemologis
menjelma kaku. Jadi mengapa aku
mencintaimu? Apakah karena engkau putri
angkasa? Apakah karena engkau berparas
jelita? Apakah karena engkau penuh cahaya?
Tidak. Dimata cinta tak ada yang namanya
karena. Singkat kata, aku tak bisa menjawab
pertanyaan itu. Namun jika engkau bertanya, “mengapa
kau tidak mencintai yang lain?”,
maka jawabannya adalah karena aku mencintaimu,
Kha. Sekali lagi aku sungguh mencintaimu.
Kalau memang kau ragu tak percaya,
mintalah pembuktian, bicaralah padaku,
suruh aku membuktikan cinta ini.
***
Meski
sekarang aku sedang berusaha untuk mencukupkan
diriku dengan ridlo Allah, tetap saja tak
bisa kupungkiri bahwa aku membutuhkanmu
dengan harapan yang sangat besar. Aku
membutuhkanmu untuk menjalani kehidupan
ini, Kha.
***
Hari Rabu
menjelang siang, tanggal 02 bulan februari
2012, pukul 09: 26 adalah momentum
yang tak mungkin sanggup kulupakan.“di dalam
ruangan kelas xI-ips 1 di depan meja paling
depan, paling barat”Apa kau
masih membaca? Teruslah membaca. Sebab
perintah pertama islam adalah membaca.
Membaca apa saja dan siapa saja. Membaca
gejolak kalbu dan fenomena ruang-waktu.
Membaca berjuta-juta kemungkinan iradatullah—sistem
kausalitas mukjizat, tradisi
sunnatullah Alam semesta, hukum sebab-akibat
logika demonstrasi, dan dialektika
situasi-kondisi. aku
mencintaimu licha .
MENGERTILAH..!!

hmmmmmm, kami hanya tertawa, maaf, aku dan teman-teman kita mungkin hanya membacanya, tak memahami betul rasamu ketika merangkai deretan akssara itu, jadi kami hanya tertawa. Putri Keong
ReplyDeletekarya tulis pada saat waktu terdahulu saat masih menggeluti dunia sastra teater dan puisi. haha
ReplyDelete