HUKUM ACARA PIDANA PENUNTUTAN DAN PROSEDURNYA
PENUNTUTAN DAN PROSEDURNYA
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana
Dosen pengampuh : Moh. Makmun M.HI
Oleh :
Imam Rofiqin (1215001)
AHWALUS SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI
DARUL ULUM
JOMBANG
2016
http://rofiqinputra.blogspot.com/
A.
PENDAHULUAN
Harus
kita akui, hingga kini masih banyak orang yang tak paham proses hukumdan
tatacara penanganan suatu perkara di tiap
jenjang peradilan kita.
Mungkin,sosialisasi dan pendidikan hukum untuk publik masih belum
sepenuhnya menjangkauseluruh lapisan masyarakat kita. Peristiwa hukum dalam
kehidupan sehari-hari kita,tentu banyak sekali yang dapat berujung ke perkara
pidana dan atau berproses secarahukum di pengadilan. Hukum merupakan
kumpulan kaidah-kaidah dan
norma yang
berlaku dimasyarakat, yang
keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat dan diakui olehmasyarakat sebagai
pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untukmenciptakan
ketenteraman di masyarakat.
Hukum sebagai instrumen dasar
yangsangat penting dalam pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam
segala segikehidupan masyarakat, karena
hukum merupakan alat
pengendalian sosial, agartercipta suasana yang aman, tenteram dan
damai optimal namun penuntut umum tidak dapat melakukan penyidikan tambahan
secaramenyeluruh artinya penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan
tambahanterhadap saksi-saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka.
HUKUM ACARA PIDANA PENUNTUTAN DAN PROSEDURNYA
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Penuntutan.
Pengertian penuntutan dalam KUHAP dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7
yang berbunyi sebagai berikut:
“Penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal
dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Menuntut seorang
terdakwa di muka
hakim pidana adalah
menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan
berkas perkaranya kepada
hakim, dengan permohonan
supaya hakim memeriksa dan
kemudian memutuskan perkara
pidana itu terhadap
terdakwa.[1]
Tujuan penuntutan adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut
umum tentang adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka hakim.[2]
KUHAP tidak menjelaskan
kapan suatu penuntutan
itu dianggap telah
ada, dalam hal
ini Moeljatno menjelaskan bahwa,
yang dapat dipandang
dalam konkretnya sebagai
tindakan penuntutan adalah:
a.
apabila jaksa
telah mengirimkan daftar
perkara kepada hakim
disertai surat tuntutannya.
b.
apabila
terdakwa ditahan dan mengenai tempo penahanan dimintakan perpanjangan kepada
hakim sebab apabila sudah lima puluh hari waktu tahanan masih dimintakan
perpanjangan secara moril boleh dianggap bahwa jaksa sudah menganggap cukup
alasan untuk menuntut.
c.
apabila
dengan salah satu
jalan jaksa memberitahukan kepada
hakim bahwa ada perkara yang akan diajukan kepadanya.[3]
Penuntutan suatu perkara dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Cara tersebut bergantung pada berat ringannya
suatu perkara. Jika perkara itu termasuk perkara biasa yang ancaman pidananya
di atas satu tahun maka penuntutannya dilakukan dengan cara biasa, hal ini
ditandai dengan adanya berkas perkara yang lengkap dan rumit. Ciri utama dalam
penuntutan ini adalah selalu disertai dengan surat dakwaan yang disusun secara
cermat dan lengkap oleh penuntut umum. Selain penuntutan dengan cara biasa
tersebut, penuntutan dapat pula dilakukan dengan cara singkat. Penuntutan ini
dilakukan jika perkaranya diancam pidana lebih ringan, yakni tidak lebih
dari satu tahun
penjara. Berkas perkara
biasanya tidak rumit,
dan penuntut umum
tetap mengajukan surat dakwaan yang disusun secara sederhana.
Jenis penuntutan lainnya adalah
penuntutan dengan cara cepat. Penuntutan jenis ini terjadi pada perkara yang
ringan atau perkara lalu lintas yang ancaman hukumannya tidak lebih dari tiga
bulan. Penuntutan tidak dilakukan oleh penuntut umum, namun diwakili oleh
penyidik dari polisi. Dalam hal ini juga tidak ada surat dakwaan tetapi hanya
berupa catatan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan.
2.
Prosedur
Penuntutan
Dalam Pasal 141
KUHAP menentukan bahwa
penuntutan dapat dilakukan
dengan menggabungkan perkara dengan satu surat dakwaan. Tetapi
kemungkinan penggabungan itu dibatasi
dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut. Syarat-syarat itu adalah: [4]
a.
Beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b.
Beberapa
tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c.
Beberapa
tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi
satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Sistem penuntutan di Indonesia dikenal dengan dua azas, yaitu:[5]
a.
Azas
Legalitas
Azas legalitas adalah azas yang menghendaki bahwa penuntut umum
wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan
bagaimana keadaan pelakunya ke muka sidang pengadilan.[6]
Azas legalitas dalam hukum acara pidana tidak bisa disamakan dengan azas
legalitas yang ada dalam hukum pidana (materiil) sebagaimana yang diatur pada
Pasal 1 ayat (1) KUHP.
b.
Azas
Opportunitas
Azas Opportunitas adalah azas hukum yang memberikan wewenang kepada
penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat
seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.
Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan menggambarkan secara
jelas mengenai azas
opportunitas. Pasal tersebut
berbunyi “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan
kepentingan umum”.
Penuntutan dilakukan oleh
penuntut umum sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal
1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, yang berbunyi “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dijelaskan “Penuntut umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan
hakim”. Pasal ini
menjelaskan bahwa penuntut umum
adalah jaksa, namun belum tentu seorang jaksa adalah penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 14 KUHAP, kewenanganan penuntut umum adalah:[7]
a.
Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.
Mengadakan pra
penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.
Memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat
surat dakwaan;
e.
Melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f.
Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.
Melakukan
penuntutan;
h.
Menutup
perkara demi kepentingan hukum;
i.
Mengadakan
tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini;
j.
Melaksanakan
penetapan hakim.
3.
Penghentian
Penuntutan
Seseorang yang telah melakukan tindak pidana pada dasarnya dapat
dituntut di muka pengadilan untuk
diadili, dan jika
dalam persidangan dapat
dibuktikan tindak pidana
yang dituduhkan kepadanya akan
mendapatkan putusan bersalah untuk dapat dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman
pidana dari peraturan yang dilanggarnya,
dan putusan itu harus dijalankan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi
baik secara umum ataupun secara khusus undangundang menentukan peniadaan
dan/atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu.
Penghentian penuntutan dalam KUHAP dijelaskan dalam Pasal 140 ayat
2 huruf a yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup
demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal
tersebut dalam surat ketetapan”.
Berdasarkan pasal di atas, ada tiga alasan suatu perkara
dihentikan, yaitu perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana dan perkara dihentikan atau ditutup demi
hukum.
Tidak terdapat cukup bukti tidak terdapat cukup bukti, dalam arti
tidak dapat ditemukan alat-alat bukti sah yang cukup. Artinya alat-alat bukti seperti
yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa tidak terpenuhi ataupun alat-alat
bukti minimum dari tindak pidana tersebut tidak dapat dijumpai, diketemukan dan
tidak tercapai.
Pembuktian tentang benar
tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting hukum
acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang
yang didakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang
ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum
acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Berbeda dengan hukum
acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.[8]
Berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dikenal ada lima macam alat-alat bukti yang sah, yakni:
a.
Keterangan
Saksi.
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
b.
Keterangan
Ahli.
Menurut Pasal 28 KUHAP yang
dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
c.
Alat
Bukti Surat.
Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat
bukti yang sah adalah yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan
dengan sumpah.
d.
Alat
Bukti Petunjuk.
Menurut Pasal 188 ayat 2
KUHAP pengertian alat
bukti petunjuk, yaitu
perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang
satu dengan yang lain atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan
adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya.
e.
Alat
Bukti Keterangan Terdakwa.
Menurut Pasal 189 KUHAP keterangan terdakwa adalah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perubahan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.[9]
Jika tidak terpenuhinya
minimal dua alat
bukti, menyebabkan kasus
tersebut belum dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan karena
belum adanya bukti permulaan yang cukup. Pasal 183 KUHAP juga
mengatur bahwa “Hakim
tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
C.
KESIMPULAN
Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara
pidana ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dalam
hal dan menurut
cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.
Berdasarkan Pasal 14 KUHAP, kewenanganan penuntut umum adalah:
a.
Menerima
dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b.
Mengadakan pra
penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.
Memberikan
perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.
Membuat
surat dakwaan;
e.
Melimpahkan
perkara ke pengadilan;
f.
Menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.
Melakukan
penuntutan;
h.
Menutup
perkara demi kepentingan hukum;
i.
Mengadakan
tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut ketentuan undang-undang ini;
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi.
2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. PT. Sinar Grafika. Jakarta.
Husein, Harun M. 1991. Penyidikan
dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Kristiana, Yudi. 2006. Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan
Korupsi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara
Pidana Kontemporer. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[1] WirjonoProdjodikoro dalam Rusli Muhammad, Kemandirian
Pengadilan dalam Proses PenegakanHukum Pidana Menuju Sistem Peradilan Pidana
yang
Bebas dan
Bertanggung Jawab. (Jakarta: Gramedia, 2007), 76.
[2] Ibid,
76.
[3] Ibid,
76.
[4] Abidin
A.Z., dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia,
(Jakarta: Yarsif Watampone, 2010). 14.
[5] Ibid,
14.
[6] Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer (Bandung: Citra Aditya, 2007)
19
[7] kitab
undang-undang hukum pidana
[8] Andi Hamzah. Hukum
Acara Pidana Indonesia. (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000). 245.
Comments
Post a Comment